Beauty Lifestyle

Kulit Putih, Standar Kecantikan Peninggalan Pra-Kolonialisme yang Masih Populer

Zaman boleh berubah, tapi cantik putih tetap jadi standar utama. Kenapa kita terus mengobsesikan kulit putih?

Avatar
  • September 14, 2022
  • 12 min read
  • 3163 Views
Kulit Putih, Standar Kecantikan Peninggalan Pra-Kolonialisme yang Masih Populer

Aku selalu benci penampilan fisikku. Tubuh gemuk, tinggi tanggung, kulit sawo matang. Berbeda sekali dengan papa, mama, dan adik lelakiku yang cenderung berkulit cerah. Rambutku juga keriting, susah disisir, dan mengembang seperti singa jika malas merawatnya.

Saking bencinya, aku jarang melihat pantulan diriku di cermin. Aku semakin membencinya karena sempat dirundung saat di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Di kelasku, cuma aku yang punya penampilan fisik super mencolok. Teman-teman menjulukiku Black Country. Julukan yang digunakan untuk menekankan bagaimana aku tidak cantik dan pantas untuk dihina.

 

 

Tumbuh besar dengan perundungan ini otomatis menyetir caraku menilai diri. Aku jadi terobsesi untuk menjadi seseorang yang bukan diriku sendiri, termasuk memutihkan kulit dengan produk kecantikan. Aku membeli krim dan sabun cuci muka yang menawarkan efek memutihkan seketika. Akibatnya fatal. Kulit wajahku jadi jerawatan parah sampai aku harus dibawa ke klinik.

Mama bilang, tak apa-apa punya warna kulit berbeda. Meski perkataan Mama cukup memengaruhiku, sayangnya ini tak bertahan lama. Masuk kuliah, obsesiku terhadap kulit putih kembali lagi dan aku mulai menjajal konsultasi ke klinik kecantikan dekat kampus.

Aku nampaknya tidak sendiri. Banyak perempuan Indonesia di luar sana yang juga tidak percaya diri dengan warna kulit mereka. Kami berusaha keras untuk mengubah warna kulit menjadi putih. Ketidakpercayaan diri akan warna kulit selain putih terlihat jelas dalam olahan data Compas.co.id, perusahaan teknologi yang fokus pada business intelligence tools (2021) mengenai penjualan serum wajah di dua e-commerce Indonesia, Tokopedia dan Shopee.

Dalam periode dua bulan, Compas.co.id menangkap adanya penjualan yang cukup tinggi pada dua produk andalan Scarlett Whitening, yaitu Scarlett Whitening Brightly Ever After Serum (151.492 transaksi) dan Scarlett Whitening Acne Serum (80.106 transaksi).

“Kedua produk itu telah mencatatkan total nilai penjualan yang setidaknya mencapai Rp15,5 miliar,” ujar Arya Ospara, Head of User Engagement & User Acquisition Compas.co dalam keterangan resmi yang dikutip SWA.

Selanjutnya, di urutan ketiga dan keempat ialah produk dari Erto’s, yaitu Erto’s Niacinamide Serum (19.106 transaksi) dan Erto’s Serum Kinclong (5.429 transaksi) dengan total nilai penjualan sebesar Rp2.666.851.832. Pada urutan kelima, Garnier Sakura White Booster Serum 30 ml yang tercatat memiliki 3.166 transaksi dengan nilai penjualan Rp361.012.630.

Data yang didapatkan oleh Compas.co.id ini jelas memperlihatkan bagaimana permintaan pasar akan produk untuk meningkatkan kecerahan kulit masih sangat tinggi. Hal ini pun belum ditambah dengan data dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) terkait produk pemutih yang mengandung bahan berbahaya, seperti merkuri dan hidrokuinon di luar izin BPOM.

Dikutip dari halaman resi BPOM, selama 2018 BPOM menemukan kosmetik ilegal dan/atau mengandung bahan dilarang/bahan berbahaya senilai Rp112 miliar. Kosmetik itu didominasi oleh bahan-bahan merkuri, hidroquinon, dan asam retinoat, bahan aktif utama dalam produk pemutih kulit Afrika.

Sementara, pada November 2021, BPOM mencatat terdapat sembilan produk kecantikan bermerkuri yang dijual bebas di pasar dengan tingkat pembeli yang tinggi. Kesembilan produk ini, antara lain Temulawak New Day & Night Cream Beauty Whitening Cream, Cream SP Special UV Whitening, dan Diamond Cream. Semuanya menawarkan kulit putih instan pada penggunanya.

Baca Juga:   Sejarah ‘Cantik itu Putih’ dan Kolonialisme di Indonesia

Standar Kecantikan yang Sebenarnya Tak Pernah Berubah

Berbicara tentang standar kecantikan memang tidak bisa terlepas dari mitos kecantikan. Berdasarkan disertasi Britain Ashley Scott dari University of Minnesota pada 1997, ia membuat 4 karakteristik kecantikan: 1. Kecantikan itu secara esensi feminin 2. Kecantikan adalah aspek terpenting dari perempuan 3. Kecantikan itu diekspektasikan untuk perempuan 4.Untuk menjadi cantik perempuan harus mengubah tampilan aslinya karena mereka terlahir tak cantik.

Dari sinilah kemudian standar kecantikan dibentuk untuk membuat perempuan tak pernah puas dengan dirinya sendiri. Hal yang kemudian menarik dari standar kecantikan yang terus berubah sepanjang waktu karena kondisi sosial ekonomi budaya serta politik suatu negara, cantik putih atau berkulit terang masih jadi primadonanya. Hal ini misalnya terkonfirmasi dalam survei Magdalene yang melibatkan 725 responden lintas generasi, mulai dari generasi X (1965 – 1980), Y (1981 – 1994), hingga Z (1995 – 2010).

Dalam survei ini, ditemukan sebanyak 56 responden yang mendefinisikan cantik secara harfiah berarti memiliki kulit putih. Sementara, sebanyak 254 orang memilih kulit glowing sebagai perluasan makna kulit cerah.

Cantik yang berarti putih atau berkulit cerah juga terlihat dari 188 responden, yang memutuskan memakai filter guna menaikkan warna atau tone kulit. Hal ini kemudian disusul dengan 126 responden yang mengedit foto terlebih dahulu sebelum mengunggahnya ke media sosial.

Cantik putih atau berkulit cerah yang masih mendominasi standar kecantikan di Indonesia memicu tanya. Sejak kapan standar kecantikan ini telah ada?

Dalam buku Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional (2017), Ayu Saraswati, penulis dan pengajar di kajian perempuan di Universitas Hawai’i menjelaskan ideologi warna kulit di Indonesia sebenarnya sudah mulai terbentuk dari zaman Jawa prakolonial.

Cerita Ramayana yang dibawa India menciptakan ideologi warna kulit terang dan kecantikan yang kemudian diadaptasi dalam konteks Jawa. Dalam Ramayana India, bulan misalnya digunakan sebagai kiasan favorit penulis cerita untuk menggambarkan kualitas kecantikan manusia. Ia putih dan berwarna terang. Menurut pakar Sanskerta Madhusudan Pathak, bulan purnama adalah metafora lazim yang digunakan dalam karya sastra tua untuk menggambarkan kesempurnaan kecantikan kulit atau cantik dan cemerlangnya perempuan.

Sebaliknya, dalam kedua versi Ramayana (India dan Jawa), tokoh-tokoh jahat digambarkan memiliki warna kulit gelap dan hitam. Warna ini digunakan untuk menyiratkan rasa negatif, seperti penderitaan. Maka tak heran, kegelapan dilukiskan sebagai entitas yang hina dan perlu diberantas.

Pembentukan makna kulit terang menjadi standar kecantikan pun semakin kuat selama kolonialisme Belanda dan Jepang. Pada masa kolonial Belanda (1900-1942), perempuan Kaukasia berkulit teranglah yang dianggap sebagai simbol kecantikan. Hal ini tidak lepas dari bagaimana pada masa kolonial Belanda, warna kulit menjadi pembeda kategori-kategori sosial. Gagasan tentang cantik putih Kaukasia pun semakin kental semenjak terbitnya majalah-majalah perempuan era kolonial dengan iklan-iklan produk kecantikan yang konon bisa memutihkan kulit.

Di masa kolonial Jepang, citra kulit putih terang ala Asia Tradisional dihidupkan melalui “promosi” produk kecantikan. Dalam iklan bedak Club pada 1944 di Djawa Baraoe misalnya, kecantikan digambarkan lewat model perempuan Jepang berkulit sangat terang, yang sedang memulas bedak ke pipinya.

Hal yang tak jauh berbeda terjadi pada zaman nenekku ketika masih muda, sekira 1950 hingga 1980-an. Nenekku menceritakan pengalamannya jadi model peragaan busana, dari kontes Ratu Kebaya hingga peragaan busana yang diselenggarakan oleh Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Alasannya, nenekku memenuhi segala kriteria standar kecantikan masyarakat Indonesia. Ia tak hanya langsing, tinggi (untuk ukuran orang Indonesia ketika itu), berambut hitam lurus, tetapi juga memiliki warna kulit wajah yang terang.

“Cantik itu dilihat dari mukanya, cantik ya cantik alami, natural, menunjang juga postur tubuh, yang semampai. Akan tetapi kulitnya cerah itu memengaruhi juga ya,” begitu cerita Eyang. Eyang kemudian menambahkan cantik kulit cerah juga terlihat dari penggunaan bedak dingin, bedak ponds, dan lulur tradisional.

“Kalau dulu (Nenek) pakai bedak dingin biar wajahnya kalau kata orang zaman sekarang bilangnya, tetap glowing. Dulu memang pakai perawatan tradisional. Dilulur, jadi perempuan yang kulitnya hitam jadi (berubah) kuning (langsat),” ungkapnya.

Cantik putih atau berkulit terang kemudian tidak banyak berubah di zaman Mama. Aku sempat berbincang dengan salah satu sahabat mama, Tetes namanya. Tetes mengungkapkan, perempuan berkulit putih selalu jadi pusat perhatian saat itu.

“Jadi inget dulu waktu pertama masuk SMP, ada yang bertanya, ‘Bisa Bahasa Indonesia enggak?’ Dikira bule kali ya Tante karena kulitnya putih bersih, makanya jadi eye catching dan bikin orang bilang Tante cantik,” cerita dia.

Tak cuma Tetes yang kemudian ikut terobsesi dengan cantik putih. Di zamannya dulu, sejumlah perempuan menggunakan produk pemutih merek Kelly yang murah tapi bisa memutihkan secara instan. “Dulu sampai muka kita putih seragam semua berkat Kelly,” imbuhnya.

Cantik putih juga diamini oleh salah satu responden survei Magdalene Mery, 34. Ia bilang, perempuan-perempuan generasinya kerap mencoba berbagai macam krim pemutih yang dijual eceran.

“Biasanya mahasiswa yang punya uang terbatas, jadi kalau beli di pasaran lebih murah. Mereka akan gonta-ganti krim kalau hasilnya tidak memuaskan. Ini sudah jadi praktik umum. Tanpa ada konsultasi dan panduan dari ahli,” jelas Mery.

Hal senada disampaikan Sanya, 22, responden lainnya. Ester mengamini, cantik adalah semua yang berkulit putih atau cerah. Alasannya? Dalam hemat dia, kulit putih atau cerah identik dengan feminitas, dan feminitas adalah bagian dari kecantikan ideal.

Baca Juga:  Pesanku pada Adik-adik Perempuan Tentang Standar Kecantikan

Cantik Indonesia yang Melebihi Penampilan

One is not born, but rather becomes a woman,” ungkap Simone de Beauvoir dalam buku legendarisnya The Second Sex (1949). Dari pernyataan itu, filsuf feminis abad ke-21 ini ingin bilang, perempuan adalah salah satu dari beberapa hal yang dikonstruksi secara sosial. Dengan kata lain, masyarakat telah mendikte apa yang seharusnya dilakukan dan dicapai oleh perempuan. Mulai dari bagaimana mereka harus berpenampilan, bagaimana seharusnya bertindak, dan peran apa yang dianggap harus dimiliki oleh perempuan.

Dalam dunia yang masih didominasi oleh laki-laki, perempuan dibentuk untuk “berjuang untuk kecantikan”, perempuan dituntut untuk menyesuaikan diri dengan harapan masyarakat. Mereka dibentuk menjadi apa yang diinginkan laki-laki secara fisik atau secara peran gender tradisional mereka. Tak heran jika perempuan tak hanya dibiarkan berlomba-lomba dalam kecantikan, juga berkompetisi jadi “perempuan sejati”.

Bagaimana perempuan memaknai kecantikan yang tak hanya bergantung pada fisik juga terjadi pada banyak perempuan Indonesia. Dalam hal ini, Petty Fatimah Editor in Chief & Chief Community Officer Femina mengungkapkan bagaimana persepsi kecantikan yang dimiliki perempuan Indonesia mencakup dua hal, yaitu inner dan outer beauty. Ia pun menegaskan bagaimana persepsi ini sudah bergulir sejak lama dan tak pernah berubah dari masa ke masa.

“Mau bagaimanapun, perempuan Indonesia menganggap inner beauty jadi faktor penting. Inner beauty ini mengacu pada cara kita berperilaku. Kebaikan hatimu, sikap kita. Kecantikan itu manifesto, sehingga inner dan outer harus integral dan ketika perempuan memiliki keduanya maka inilah apa yang disebut dengan kecantikan paripurna,” jelasnya.

Penjelasan Petty dielaborasi oleh Endah Triastuti, Dosen Universitas Indonesia yang mendalami isu gender, poskolonial, etnografi, dan media digital. Menurutnya, persepsi kecantikan Indonesia tak pernah terlepas dari gambaran perempuan yang berperilaku atau memiliki personality yang baik.

Ia menambahkan, gambaran perempuan ini juga lekat dengan peran gender tradisional yang dilekatkan masyarakat pada perempuan, yaitu submisif. Mereka sopan, lemah lembut, dan patuh. Bahkan dalam relief Candi Prambanan, perempuan yang cantik dan terhormat selalu digambarkan dalam keadaan bersimpuh dan tunduk.

“Gambaran ini konsisten. Jadi walau secara fisik berubah, tapi ada pola yang sama di mana kecantikan perempuan didefinisikan juga secara non-fisik, penurut, well behaved. Jika kita dulu melihatnya dari penggambaran perempuan bersimpuh dan tunduk di peninggalan sejarah, sekarang kita bisa lihat bagaimana definisi cantik yang dibawa Hallyu. Di situ idol perempuan (dituntut untuk) well behaved. Mereka boleh menari dengan rok pendek, tapi saat duduk rok mereka ditutupi selimut. Mereka bertutur dan berperilaku lemah lembut dan santun,” jelas Endah.

Terkait inner beauty ini, survey Magdalene menjelaskan, sebanyak 605 responden mengatakan memang definisi cantik tak melulu pada fisik tapi juga personality yang baik. Maksudnya, bagaimana perempuan bisa membawa diri dengan lingkungan sekitarnya. Mereka harus ramah, percaya diri, dan humoris.

Baca Juga:    Bagaimana Standar Kecantikan Menghancurkan Perempuan?

Pentingnya Keberagaman dalam Mendefinisikan Ulang Kecantikan

Menurut laporan Dove Global Beauty and Confidence pada 2016, 69 perempuan di dunia percaya, kecemasan akan penampilan sebagian besar didorong oleh meningkatnya tekanan dari iklan dan media untuk mencapai standar kecantikan yang tidak realistis. Sementara, 56 persen menyalahkan budaya manusia modern yang selalu aktif di media sosial.

Banyak penelitian telah menemukan bahwa Instagram dan platform media sosial yang banyak foto lainnya lebih merusak citra diri daripada media tradisional, dengan perempuan sangat dipengaruhi oleh artis-artis yang menampilkan dirinya sebagai sosok perempuan ideal. Baik secara fisik maupun personality mereka.

Dalam survei Today Show dan AOL.com (2014) ditemukan, 80 persen remaja perempuan di Amerika membandingkan diri mereka dengan citra selebriti. Hampir setengahnya mengatakan, gambaran di media sosial membuat mereka merasa tidak puas dengan penampilan sendiri.

Hal ini nampaknya juga terjadi pada perempuan di Indonesia. Dalam survei Magdalene misalnya, sebanyak 401 responden terkadang merasa tidak percaya diri dan 54 responden merasa tidak memiliki kepercayaan diri sama sekali dengan penampilan mereka. Sanya, 22, asal Semarang menjadi satu dari 54 orang ini.

Sanya mengaku tidak pernah merasa percaya dengan dirinya sendiri. “Jika membandingkan diri saya dengan apa yang saya lihat di media sosial, saya enggak pernah sesuai dengan standar kecantikan. Makanya karena saya sudah punya kekurangan, saya harus bisa merawat apa yang saya punya,” curhat Sanya.

Terkait ini, penting sekali untuk mendefinisikan kecantikan sebagai sesuai yang tidak tunggal. Menurut Endah, mendefinisikan kecantikan dalam lensa keberagaman sangat penting dalam membantu perempuan untuk bisa menerima diri dan membangun budaya kritis yang tak lagi membelenggu perempuan dengan mitos-mitos kecantikan.

Kabar baiknya, katanya, perlawanan atas standar kecantikan ini sudah mulai terasa, utamanya di individu-individu generasi Z. Menurutnya, generasi Z memiliki satu hal yang unik dan patut dicontoh generasi-generasi sebelumnya di mana generasi Z memiliki identity statement yang kuat terhadap keberagaman.

“Gen Z belajar dan terpapar dengan keberagaman. Mereka juga digital native, sehingga karakternya sendiri memang rebel. Mereka enggak mau disamain sama baby boomers atau millennials. Mereka ingin berbeda dan ngerangkul perbedaan itu. Jadi mereka berusaha merekonstruksi media atau nilai-nilai lama. Kelihatan sekali dari bagaimana mereka berusaha untuk memberi definisi baru pada kecantikan,” jelas Endah.

Ia menambahkan, dibandingkan mendefinisikan kecantikan dengan kaku, Gen Z justru melakukannya dengan santai, khas mereka. Salah satu yang Endah garisbawahi adalah tren Instagram filter before and after. Melalui tren ini, mereka memperlihatkan penampilan fisik diri apa adanya tanpa filter. Dengan warna kulit asli beserta segala “kekurangan” di wajah, seperti jerawat, tekstur wajah, dan flek hitam, Gen Z mengajak kita menertawakan standar kecantikan yang jamak. Bahwa cantik itu tak harus serba mulus, glowing, dan putih, dan makeup tebal.

“Filter instagram yang beforeafter filter itu malah jadi ajang perempuan menertawakan standar kecantikan yang nonsense. They’re very open about it. Jadi kalau dulu mungkin makeup dipakai perempuan untuk menutupi ‘dosa-dosa’ mereka, it doesn’t apply now. Women are now using social media for revealing up, jadi narasi-narasi lama dan kenapa itu ada itu mulai dimodifikasi di generasi ini,” ucap Endah.

Pada akhirnya, standar kecantikan ada yang ada di masyarakat memang akan terus eksis jika tak ada usaha dari perempuan untuk mengubahnya. Seperti apa yang Petty ungkapkan, “Standar kecantikan dan trennya adalah hasil konsensus banyak orang. Oleh karenanya, memang butuh kesadaran untuk mengubah definisi kecantikan agar lebih beragam. Kesadaran ini dibutuhkan agar standar cantik ala industri bisa ikut berbenah.”

Proyek jurnalistik ini didukung oleh Meedan, organisasi non-profit di bidang teknologi yang punya visi memperkuat literasi digital dan jurnalisme global.

Laporan lain dari Beauty and Technology Series bisa kamu baca di sini:

Penanggung jawab/Pemimpin Redaksi: Devi Asmarani
Redaktur Pelaksana: Purnama Ayu Rizky
Editor: Aulia Adam
Reporter/ Periset: Aurelia Gracia, Jasmine Floretta, Vania Evan, Theresia Amadea
Desainer Grafis: Jeje Bahri
Juru Kamera dan Editor: Tommy Trdkr
Web Developer: Denny Wibisono
Media Sosial: Siti Parhani

SEO Specialist: Kevin Seftian
Community Outreach: Paul Emas

Community Outreach Assistant: Tenny Maria
Digital Media Assistant: Chika Ramadhea
Analis Data: Wan Ulfa Nur Zuhra (IDJN)



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *