Politics & Society

Mengenal Islam Pelangi: Teologi yang Rangkul Keberagaman Gender dan Seksualitas

Islam membawa semangat ‘hijrah’ dari zaman ‘jahiliyah’ menuju pembangunan ‘darussalam’ dengan memajukan ‘iqra’. Di manakah perspektif itu bagi mereka yang gender dan seksualitasnya direpresi?

Avatar
  • May 19, 2022
  • 5 min read
  • 646 Views
Mengenal Islam Pelangi: Teologi yang Rangkul Keberagaman Gender dan Seksualitas

Homofobia dan transfobia masih menjadi sikap yang dominan di masyarakat muslim Indonesia. Sentimen-sentimennya sangat mengerikan, keberadaan orang-orang homoseksual dianggap sebagai keterulangan sejarah kaum Nabi Luth yang berdosa dan layak mendapatkan azab Allah. Dalam pandangan tersebut, LGBT adalah kelompok yang menyimpang dari fitrah manusia dan sudah tentu akan masuk neraka jahanam.

LGBT juga dicemooh sebagaimana akronimnya sebagai kaum yang menyebabakan longsor, gempa, banjir, dan tsunami.

 

 

Namun, jika dipikir lebih jauh lagi, jangankan masalah keberagaman gender dan seksualitas. Patriarki pun masih menghunjam kuat di berbagai sendi kehidupan, tak terkecuali pada penafsiran ajaran keislaman.

Tentu pemahaman demikian bersebrangan dengan semangat Islam sebagai kekuatan yang hendak memanusiakan manusia. Dengan begitu teologi Islam yang humanis dan inklusif harus mau berdialog dengan realitas yang dihadapinya, satu di antaranya keberagaman gender dan seksualitas.

Baca juga: Adakah Ruang Bagi LGBT untuk Beragama?

Apabila kita melihat alur sejarah kenabian, sudah sangat jelas bahwa Islam membawa semangat hijrah (pindah, perubahan) dari era jahiliyah (kebodohan) menuju pembangunan darussalam (negeri damai dan sejahtera) dengan memajukan iqra (baca, literasi). Alur tersebut digerakkan oleh tauhid sebagai cara pandang, bersikap, dan berperilaku umat muslim.

Dalam tauhid, kita diajarkan untuk memposisikan semua manusia bahkan seluruh makhluk secara setara, sebab hanya Allah-lah yang berkuasa. Maka tak heran risalah (pesan, ajaran) yang diemban oleh Rasulullah ialah pembebasan dan kebebasan dari segala belenggu perbudakan dari tuhan-tuhan yang palsu. Bahkan Rasulullah memberi teladan selaku pembela terdepan bagi kaum duafa (miskin dan lemah) dan mustadh’afin (tertindas).

Kaum minoritas dan marjinal yang ada bersama Rasulullah pada saat itu meliputi, perempuan, anak yatim, janda, orang miskin, budak, dan masih banyak lagi.

Mari kita bayangkan, jika Rasulullah hidup pada abad ke-21, kira-kira akan berjalan bersama siapa Beliau sekarang? Sebagai penerus estafet perjuangan Rasulullah seharusnya kita melakukan misi dakwah yang sama, yakni memperjuangkan keadilan dan kesetaraan bagi semua orang. Termasuk dalam mengadvokasi hak-hak kelompok minoritas gender dan seksual. Rasulullah telah menitipkan Alquran dan Assunah yang akan selalu relevan sepanjang zaman sebagai pedoman kita dalam mengemban amanat khalifah di bumi Allah.

Namun sayangnya, kita sendiri yang memonopoli tafsir tentang Islam, hingga seakan-akan kedua pustaka tersebut bersifat jumud (ekslusif dan statis). Jangan-jangan kita sendiri yang terjebak pada cara pandang yang hendak Islam koreksi, yakni paradigma yang hegemonik.

Baca juga: Amar Alfikar Bicara Hak Beragama Transgender: ‘Islam Tak Lihat Fisikmu’

Sifat Sang Maha Kuasa yang Tak Biner

Allah yang kita kenal adalah Tuhan yang tidak berjenis kelamin. Bersamaan dengan hal tersebut dalam ilmu tauhid dan tasawuf sebagai upaya mengenal Allah, Allah diyakini memilki sifat Jamaliyah (feminin) dan Jalaliyah (maskulin) secara bersamaan. Pemahaman yang mendalam tentang Wujud Allah yang Maha-queer sangatlah penting, sebab sudah sekian lama umat muslim memahami Allah sebagai Tuhan yang patriarki, misoginis, heteronormatif, dan homo-transfobik. Sikap yang antipati terhadap kategori queer, sejujurnya berpaling dari kenyataan bahwa Sang Rahim sendirilah yang melampaui keperempuanan dan kelaki-lakian.

Di Indonesia sendiri, perkembangan wacana teologi keislaman yang berkenaan dengan keberagaman gender dan seksualitas sudah mulai tumbuh sedikit demi sedikit. Kajian yang serupa dalam Kekristenan dinamai sebagai teologi queer. Teologi queer Islam, sebut saja begitu, memiliki aneka rupa pendekatan keilmuan.

Ululmulquran (ilmu-ilmu Alquran) termasuk tafsir memcoba melakukan pembacaan ulang terhadap kisah Nabi Luth, baik dari segi konteks maupun kebahasaannya. Ilmu usul fikih dan fikih (metodologi dan yurisprudensi Islam) berikhtiar dalam memetakan keragaman seks dan gender sebagai identitas sang subjek hukum yang tidak sekedar zakar-unsta (laki-laki-perempuan) atau arrijal-annisa (maskulin-feminin), tapi juga menerima keberadaan subjek khuntsa (interseks) serta mutarajjilat-mukhannats yang dapat dieksplorasi lebih jauh sebagai konsep transgender.

Belum lagi, jika kita mau belajar sejarah peradaban dan kebudayaan Islam pada setiap masa, tentu kita akan menemukan beberapa tokoh kenamaan Muslim yang teridentifikasi dalam kelompok minoritas gender dan seksual. Misalnya, Khalifah Walid bin Yazid dari Dinasti Umayyah dan Al-Amin dari Dinasti Abbasiyah, hingga Abu Nawas. Apalagi jika kita menyelami dunia tasawuf, dimensi batin yang mengedepankan kemurnian akhlak dan cinta kasih pasti akan melampaui batas-batas gender biner.

Tulisan ini barulah pengantar yang hendak mengajak pembaca yang bijaksana untuk mau belajar tentang banyak hal di luar sana yang belum kita pahami. Butuh keberanian yang cukup untuk mendalami isu keberagaman gender dan seksualitas, tentu dengan segala pro-kontranya. Dan, bukankah Sang Nabi pun demikian: ada kemauan untuk mengubah kezaliman pada zamannya?

Baca juga: Jejak ‘Queer’ dalam Al-Qur’an dan Hadis

Islam pelangi adalah wajah Islam yang menerima pada kadar Allah, bahwa gender dan seksualitas manusia sangat beragam. Teologi ini menegaskan kembali kemurnian Tauhid yang non-biner, meneladani dakwah Sang Nabi bagi mereka yang terzalimi, dan mencerminkan Islam Rahmatan lil ‘Alamin.

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”(Al-Hujurat : 11).

 

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.


Avatar
About Author

Arfi Pandu Dinata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *