People We Love

Reggy Lawalata dan Ketabuan Seputar Perceraian

Aktris Reggy Lawalata prihatin dengan masih adanya ketabuan soal perceraian.

Avatar
  • September 25, 2020
  • 7 min read
  • 2287 Views
Reggy Lawalata dan Ketabuan Seputar Perceraian

Aktris/pengusaha Reggy Lawalata sudah makan asam garam tentang pernikahan, perceraian, dan perjuangan menjadi ibu tunggal. Menikah pada usia 17 tahun, Reggy bercerai pada usia 24 tahun, ia kemudian menjanda selama 20 tahun. Ia menikah dengan pria Australia, Nick Bricknell, selama 15 tahun sebelum bercerai.

Reggy melihat bahwa perceraian masih menjadi sesuatu yang tabu dan merupakan aib bagi keluarga.

 

 

“Banyak yang lebih memilih tinggal dalam pernikahan yang tidak bahagia daripada bercerai. Alasannya banyak, ada yang ‘malu, di keluarga tidak ada riwayat bercerai.’ Padahal seharusnya tidak seperti itu,” ujarnya kepada Magdalene dalam wawancara baru-baru ini.

Dalam video-video di kanal The Lawalatas di YouTube, Reggy dengan terbuka membahas statusnya sebagai janda, dan banyak yang tersentuh karenanya.

“Teman-teman saya bilang, ‘Gy, gara-gara elu tuh, jadi pada antre mau cerai’, hahaha sialan,” ujarnya, mengacu pada berita soal peningkatan angka perceraian di tengah pandemi.

Berikut rangkuman wawancara bersama Reggy mengenai pernikahan dan ketabuan seputar perceraian.

Magdalene: Menurut Tante Reggy, kenapa  setelah sekian lama perceraian masih jadi isu yang tabu?

Karena larinya ke agama, apa pun itu kita selalu larinya ke agama. LGBT kenapa harus ribut? Karena larinya ke agama. Karena dalam agama itu dipercaya bahwa Tuhan menciptakan laki-laki dan perempuan. Ya saya enggak bilang itu salah, tapi kalau ada kasusnya dia berbeda, ya tentu Tuhan juga punya rencana, kenapa mereka diciptakan? Paling enggak kita tahu ada loh kasusnya. Saya enggak minta orang-orang di luar sana untuk langsung diterima tapi respect aja as a human beings. Masa kita harus memperdebatkan, (kalau gue pendek) lu harus pendek juga kayak gue.

Kalau kita “normal” pun dan berbuat tidak baik sama aja kok. Emang kalau LGBT berbuat sesuatu yang baik, dan normal berlaku jahat, tapi jadinya LGBT tetap salah, kan enggak begitu juga. Menurut saya dia baik ya dia baik, dia jahat ya dia jahat.

Setelah bercerai dua kali, apakah Tante jadi punya pandangan berbeda tentang pernikahan? Saya terus terang jadi ogah menikah lagi.

Jangan takut menikah lagi. Saya itu punya problem dengan diri saya setelah saya sadari, tapi mungkin saya salah. Saya itu dilahirkan dari keluarga yang ayah saya duda punya anak, dan ibu juga sudah punya anak. Mereka kemudian menikah dan punya saya. Saya ini cinta kasih mereka, dari kecil dipuja-pujanya bukan main. Perhatian Ayah pada saya itu sangat luar biasa, terlalu sempurna menurut saya. Jadi kadang-kadang segala sesuatu yang terlalu baik, terlalu sempurna itu enggak baik. Sehingga saya kalau sayang sama orang, saya banyak pengaharapan. Saya sekarang ini memang sedang mencari psikolog, tapi agak susah karena kalau psikolognya enggak pintar, saya enggak mau nanti saya malah saya yang guruin dia. Kan enggak semua perempuan punya pengalaman kayak saya.

Baca juga: Reggy Lawalata dan Stigma Sebagai Janda

Contohnya gini deh, saya mau pergi, (mantan) suami saya bukain pintu. Besoknya saya pergi, suami saya enggak bukain pintu, itu sakitnya udah luar biasa. Saya mau gosok gigi di kamar mandi sudah dikasih sikat gigi, besoknya tahu-tahu dia berangkat pagi lupa ngasih itu. Nah itu udah membuat saya sedih. Saya jadi berpikir sendiri, apa karena ayah saya, karena dulu itu dia kalau sudah sore selalu memeluk saya dan dia tidak pernah absen melakukannya selama hidup saya.

Sedangkan kalau sama suami kan enggak bisa terlalu berharap. Kadang perhatian saja enggak ada. Kalau ada sedikit, itu sedihnya jadi deep. Nah, saya belajar nih kayaknya paling benar saya enggak punya siapa-siapa, kalau cuman good friend enggak apa-apa. Kalau pasangan itu terlalu banyak pengharapan, jadinya banyak kekecewaan. Padahal sesuatu yang seharusnya enggak harus disedihkan…hahaha…saya ini kelihatannya kuat dan tegas, padahal saya itu sangat sensitif. Tapi sama pasangan saya aja, kalau sama yang lain enggak.

Dari dulu mikirnya kalau kawin lagi, ada suami, nanti sedih lagi. Kalau gue nikah 10 kali ya gue akan sedih terus. Ini yang lagi saya cari tahu sekarang. Otak saya mengatakan, lu bego Gy, ngapain mikirin begituan. Dia udah baik udah ngelakuin ini, yang penting kan itu. Tapi dalam hati, ya bukan itu yang penting. Gue juga perlu diisi nih yang gue mau. Masa gue minta diperhatiin gitu aja lu enggak bisa. Jadinya ada drama kecil di diri saya.

Sebagai perempuan yang kuat dan mandiri, apa kesulitan mencari sosok laki-laki yang mampu mengimbangi?

Oh ya, sangat susah sekali, memangnya kenapa saya 20 tahun enggak menikah lagi? Saya enggak mau kawin dengan laki-laki Indonesia karena saya tahu itu sama artinya dengan kawin sama keluarganya juga, capek jadinya. Belum kalau ibu mertuanya dapat yang rewel, belum anaknya yang lemah, ngapain saya sama tipikal seperti itu. Tapi kadang-kadang kita enggak tahu jalan hidup orang ya. 20 tahun saya pikir laki-laki asing lebih cocok jadi pasangan saya. Tapi kalau boleh jujur memang iya. Mereka itu cenderung cuek, anak-anak enggak ikut campur, keluarga enggak ikut campur, memang itu saya akui baik dalam kehidupan rumah tangga, jadi kita juga jangan terlalu dekat.

Budaya di Indonesia ini kan semakin kita dekat semakin baik, padahal semakin banyak ikut campur. Kadang-kadang kita sama suami enggak apa-apa, tapi banyak suara-suara dari luar, dari keluarga, dan itu bisa memicu perceraian.

Baca juga: 5 Hal yang Bisa Dipelajari dari Hubungan Oscar dan Reggy Lawalata

Karena saya pernah menikah dengan pria asing dan Indonesia, saya menekankan kalau menikah baiknya berdiri sendiri. Enggak usah mendengar terlalu banyak dari orang tuanya atau siapa pun. Kalau ada yang kasih masukan, ambil baiknya. Tapi kalau udah ada tanda-tanda ngatur, mending buang aja, kalau enggak hancur entar rumah tangga.

Kalau takut menikah karena gagal, lihat dulu kegagalannya kenapa. Jangan takut menikah. Setiap perkawinan itu berbeda. Kalau kamu bisa memberi arti sebuah perkawinan dan bisa mengontrol arti dari sebuah pengorbanan, mengalah, intinya kamu bisa berkompromi dengan itu semua, kamu bisa jalan terus. Perempuan itu, untuk menikah kedua kali, perhitungannya itu, ya ampuuun. Kalau dulu sebelum menikah dua puluh kali mikir, sekarang dua ratus kali pertimbangan.

Saya single parent 20 tahun sebelum memutuskan menikah lagi. Orang tua saya tanya, apalagi yang ditunggu? Itu laki-laki sudah baik, katanya. Aku kenal suamiku lima tahun, tapi buktinya sudah hidup 15 tahun pisah juga. Karena kita pisahnya itu enggak ada alasan (yang umum). Tapi di hati saya, dia enggak mengerti saya, saya capek.

Waktu mau pisah kita ngobrol biasa enggak ada berantem. Dia bilang, kalau ini yang membuat kamu happy, ya sudah, kita cerai. I married you because I wanted you to be happy, katanya. Dia sangat wise sekali. Perpisahan saya itu sedih banget, bukan menyesali…tapi dengan perpisahan itu saya dapat space saya juga, karena saya sudah enggak ada pengharapan. Sebetulnya terdengar bego, tapi itu saya.

Saya juga sering ngomong sama diri saya sendiri, sudahlah enggak usah diambil pusing kalau dia enggak nyium lu, lu cium aja di atas, enggak usah dipikirin. Saya pengen cerai dengan dia itu sebetulnya sudah dari tujuh tahun yang lalu. Saya bertahan terus, sampai tugas dia selesai, kita balik ke Australia ya sudah akhirnya ngomong.

Saya enggak minta harta gono gini, dikasih pisah saja saya udah syukur. Suami saya itu sampai are you sure? Tapi saya kan cuman ingin happy aja, enggak pengen harta gono gini. Udah berapa bulan dia telepon saya sambil nangis, bisa enggak kita nikah lagi. Saya bilang, pernikahan kan hanya sebuah surat dan kita yang benar-benar menjalani hidup ini. Kalau saya harus sama kamu dan merasakan hal yang sama…mungkin kamu sudah melakukan yang terbaik dalam hidup saya, saya yang bermasalah di sini. Jadinya saya yang harus mengontrol banyak diri saya, jadinya capek.

Baca juga: Reggy Lawalata dan Membesarkan Anak Transgender


Avatar
About Author

Hera Diani and Siti Parhani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *