Screen Raves

Review Dokumenter ‘Pesantren’: Membongkar Stigma Buruk Pesantren

Melawan narasi radikalisme dalam pesantren lewat dokumenter Pesantren.

Avatar
  • August 3, 2022
  • 4 min read
  • 746 Views
Review Dokumenter ‘Pesantren’: Membongkar Stigma Buruk Pesantren

Alunan suara orang sedang mengaji membuka film Pesantren di bioskop. Merdunya suara santri yang sedang mengaji diganti dengan kesunyian di kamar santri lain yang sedang terlelap, lalu terbangun demi sholat subuh.

Pondok pesantren yang menjadi subyek dalam film ini adalah Pondok Kebon Jambu Al-Islamy yang terletak di Cirebon, Jawa Barat. Mungkin dari luarnya terlihat sama seperti pondok pesantren lainnya, tetapi pondok pesantren dengan 2.000 santri ini memiliki keunikan. Ia dipimpin seorang perempuan, Nyai Hj. Masriyah Amva.

 

 

Suasana pesantren yang sederhana, tempat belajar agama, kental di setiap adegan yang ditunjukan dalam layar lebar. Film ini bisa menjadi opsi perkenalan terhadap Islam kepada komunitas yang bukan Muslim, terlebih kepada dunia. Terutama, orang-orang yang selama ini mengenal Islam lewat lensa negara barat. Bingkai yang biasanya menyerempeti ekstremisme, radikalisme, dan fanatisme Islam dalam pondok pesantren.

Mungkin begitu, buat penonton global di International Documentary Film Festival Amsterdam (IDFA), festival film dokumen terbesar di dunia. Sebab sebelum tayang luas di bioskop Indonesia tahun ini, Pesantren telah lebih dulu tayang di sana, pada 2019 lalu.

Baca juga: Muslimah Reformis: Memaknai Islam yang Penuh Kesetaraan

Kesederhanaan dan Kekeluargaan di Pesantren

Kehidupan komunal tidak bisa dilepaskan dalam pesantren. Baik santri laki-laki maupun perempuan, mereka terbiasa hidup dan menuntut ilmu bersama. Mereka juga dituntut untuk bisa mandiri dan berkontribusi pada kegiatan pondok.

Jauh dari orang tua bikin mereka harus bisa urus urusan pribadi. Mulai dari mencuci baju hingga mengatur keuangan pribadi. Jika ada acara di pondok, mereka juga diminta aktif membantu jalannya kegiatan.

Diding jadi salah satu pengajar yang kegiatannya diikuti oleh ​​Shalahuddin Siregar, sutradara dan produser Pesantren. Kita akan menonton keseharian Diding mengajar, membuka toko untuk kebutuhan para santri, dan diskusi bersama pengajar lainnya. Kita juga akan melihat kekhawatiran Diding—sebagai pengajar muda—terhadap kondisi santri muda yang kebanyakan masuk pesantren tanpa pendidikan dasar Islam. Kebanyakan dari mereka tidak bisa salat dan membaca Al-Quran.

Keresahan lain yang disorot Udin—panggilan akrab sang sutradara—adalah milik Bibah, guru musik yang pelan-pelan kritis tentang posisi perempuan dalam Islam. Ia menyerukan protes tentang situasi salah satu santri putri berprestasi yang tidak pernah menang kompetisi dalam pondok, padahal selalu juara di perlombaan yang diselenggarakan di luar pondok.

Ia dan beberapa santri putri senior merasa ada yang salah dengan penjurian lomba-lomba di dalam pesantren, karena tidak adanya juri perempuan di tiap panel.

Lewat Bibah, kita juga akan ditunjukkan cerita terjal tentang perempuan dan pendidikan. Mimpi punya pendidikan tinggi biasanya tak sejalan dengan tuntutan peran gender perempuan. Pergulatan itu sempat dirasakan Bibah, yang lulus masuk salah satu universitas negeri di Semarang, tapi berat untuk meninggalkan santri putri lain yang membutuhkannya.

Kegelisahan, kebahagiaan, tangis, sampai mimpi para santri direkam Udin dengan jitu.

Baca juga: Aku Kapok Mabuk Agama

Nilai yang Diajarkan kepada Para Santri

Stigma buruk pada pesantren jadi latar belakang mengapa dokumenter ini dibuat. Saat itu Udin menggarap sebuah film tentang seorang anak berprestasi yang kurang mampu. Namun, demi bisa mendapat pendidikan layak, anak itu tidak dibawa orang tuanya ke sekolah negeri, melainkan ke pesantren. Keputusan membawa anak ke pesantren mungkin tidak populer buat kebanyakan orang tua, karena ada stigma tentang ajaran dalam pondok pesantren. Terlebih, sejak berita tentang terorisme makin marak pasca-911.

Udin yang sudah lama kenal dengan Nyai Masriyah, meminta izin untuk merekam keseharian di dalam pondok pesantren itu untuk dijadikan objek dokumenternya. Tak cuma mengizinkan, Nyai Masyirah bahkan tak terlibat hasil akhir film ini.

Hasilnya, sejumlah topik tabu dikupas dingin. Misalnya, topik kesetaraan dalam Islam. Udin berhasil menangkap, bagaimana penghuni pesantren memandang perempuan dalam Islam, yang ternyata diajarkan harus hidup setara. Ada adegan Kyai Husein Muhammad mengajarkan para santri tentang kepemimpinan yang tidak terbatas oleh jenis kelamin.

Di pondok pesantren itu juga terselenggara Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pertama di Indonesia, sebuah event yang belum pernah terjadi sebelumnya di dunia. Acara tersebut kerja keras para pengajar dan santri di pesantren itu. Meski menerima banyak penolakan, baik dari komunitas Islam bahkan pemerintah, acara mereka berjalan lancar dan diikuti oleh 570 peserta, termasuk 35 perwakilan dari 16 negara.

Baca juga: Lewat Buku Muslimah Reformis, Musdah Mulia Tekankan Penafsiran Feminis-Humanis

Diskusi KUPI menghasilkan tiga gagasan, dua di antaranya adalah agenda mendukung perjuangan pengesahan UU TPKS. Gagasan lainnya adalah melanjutkan KUPI kedua di Jepara, yang akan membahas keselamatan lingkungan, khususnya tentang ancaman sampah.

Penunjukan ajaran yang berbeda dari stigma mengenai pesantren menjadi daya tarik dari film dokumenter ini. Udin secara apik konsisten membawa wajah lain dari pesantren yang selama ini orang kenal. Pesantren boleh dibilang berhasil membongkar stigma mengenai radikalisme dan fanatisme pesantren sebagai “kandang teroris”, malah memberi kontribusi akan hal-hal progresif di Indonesia.


Avatar
About Author

Theresia Amadea

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *